Parenting Blogger Medan: Susahnya Mengelola Emosi dalam Menghadapi Anak Remaja Laki-Lakiku

Sumber gambar: pinterest

Assalamu'alaikum Wr Wb


Kalau ada yang bilang menghadapi anak remaja itu gampang, aku cuma bisa geleng-geleng kepala. Apalagi kalau anaknya laki-laki. Rasanya setiap hari seperti naik roller coaster: kadang adem, kadang bikin jantung mau copot, kadang malah bikin aku pengen nangis di pojokan kamar.


Aku punya anak laki-laki yang sekarang sudah masuk usia remaja. Dulu waktu masih kecil, dia manis sekali. Tiap hari nempel, gampang diajak ngobrol, dan sering kasih pelukan. Tapi sekarang? Aduh, jangankan pelukan, ngobrol lima menit saja sudah dianggap interogasi. Kadang aku merasa, anak kecilku yang dulu lenyap begitu saja, digantikan makhluk baru yang penuh misteri.


Kamar Berantakan, hatiku Ikutan Berantakan


Salah satu pemicu emosiku yang paling sering adalah kamarnya. Jangan bayangkan kamar anak remaja laki-laki itu seperti di film, rapi dengan lampu LED warna-warni. Nyatanya? Baju kotor numpuk di pojokan, kaus kaki entah sudah berapa hari tidak dicuci, dan meja belajar dipenuhi kabel charger berserakan.


Setiap kali aku masuk, rasanya darahku mendidih. Aku sering ngomel, “Kamu ini cowok, jangan jorok-jorok amat! Masa kamarnya kayak kapal pecah begini?” Tapi bukannya bergerak membereskan, dia malah jawab santai, “Biarin aja, Ma. Aku tahu kok barang-barangku di mana.”


Ya ampun. Kadang aku bingung, ini kamar atau gudang? Tapi anehnya, kalau aku betul-betul beresin, dia bisa protes, “Ma, jangan dipindahin dong! Aku jadi nggak tahu taruhnya di mana.” Hadeh. Aku yang salah, dia juga merasa benar.


Nada Suara yang Bikin Telinga Panas


Hal lain yang bikin aku sering terpancing emosi adalah nada bicaranya. Anak remaja laki-laki itu kayak merasa punya suara tambahan volume. Kalau aku ngomong dengan tenang, jawabannya bisa keras sekali. Rasanya kayak ditantang padahal sebenarnya dia mungkin tidak bermaksud begitu.


Ada satu kejadian, aku minta dia cuci piring habis makan. Dia jawab, “Nanti, Ma!” dengan suara agak tinggi. Sontak emosiku meledak, “Nanti, nanti, nanti terus!!” Eh, dia malah diam seribu bahasa, masuk kamar, dan nutup pintu. Aku makin gondok.


Tapi setelah aku tenang, aku sadar, mungkin dia lagi capek atau lagi banyak pikiran. Usia remaja itu kan memang penuh gejolak. Kadang mereka sendiri nggak ngerti kenapa bisa ngomong begitu. Aku yang harus belajar menahan diri, bukan malah ikutan meledak.


Saat Aku Merasa Gagal


Ada kalanya, setelah marah-marah, aku merasa gagal sebagai orang tua. Pernah suatu malam, setelah ribut kecil soal jam main game yang kelewatan, aku marah besar sampai bilang hal-hal yang sebenarnya nggak perlu. Malamnya, aku lihat dia diam saja di tempat tidur, matanya kosong.


Hati kecilku sakit sekali. Aku takut kata-kataku melukai hatinya. Aku pun duduk di sampingnya dan bilang, “Maaf ya, Nak. Mama tadi kebablasan marah.” Dia cuma mengangguk, tapi aku tahu dia lega. Dari situ aku belajar, anak remaja laki-laki memang jarang mau bilang perasaan, tapi mereka bisa merasakan ketulusan kita.


Belajar Mengatur Napas


Seiring waktu, aku belajar beberapa trik sederhana supaya emosiku tidak meledak terus:


1. Menarik napas sebelum bicara.

 Kalau aku sudah merasa panas, aku coba tarik napas panjang dulu. Kadang aku sampai keluar kamar, minum air, baru balik lagi ngomong. Hasilnya lumayan, omelanku tidak terlalu pedas.



2. Pilih waktu yang tepat.

Aku perhatikan, anak remajaku paling tidak suka kalau dinasehati pas dia lagi main game atau lagi sibuk. Kalau aku tunggu dia tenang, hasilnya jauh lebih baik.


3. Bicara dengan contoh. 

Daripada ngomel panjang, aku coba kasih contoh. Misalnya aku ikut beberes bareng, sambil bilang, “Kalau rapi gini, enak kan lihatnya?” Kadang dia nurut, walau mukanya tetap manyun.


4. Ingat masa lalu. 

Aku coba ingat diriku sendiri saat remaja dulu. Aku juga sering ngambek, merasa paling benar, dan males banget kalau diceramahi. Jadi, ya wajar kalau anakku juga begitu.


Saat-Saat Manis yang Menyembuhkan


Meskipun sering bikin emosi, ada juga momen-momen manis yang bikin hatiku luluh. Misalnya, waktu aku sakit kepala, tiba-tiba dia bikinin teh tanpa disuruh. Atau waktu aku lagi sedih, dia duduk diam di sampingku, walau nggak bilang apa-apa.


Ada juga momen kocak, seperti waktu aku nemuin dia nyanyi-nyanyi di kamar dengan suara fals, padahal biasanya dia jutek kalau aku suruh nyanyi di depan keluarga. Momen-momen kecil itu yang bikin aku sadar, anakku tetaplah anak yang baik. Dia hanya sedang tumbuh, belajar, dan mencari jati diri.


Aku Juga Sedang Belajar


Menghadapi anak remaja laki-laki ternyata bukan hanya tentang mendidik dia, tapi juga mendidik diriku sendiri. Aku belajar untuk tidak selalu ingin menang, belajar menahan ego, dan belajar lebih banyak mendengar daripada bicara.


Aku tahu, kelak dia akan tumbuh jadi dewasa. Dan aku ingin ketika dia dewasa, kenangan tentang masa remajanya bersama aku bukan hanya tentang pertengkaran, tapi juga tentang cinta, kesabaran, dan pengertian.

Sumber foto; Lupa IG nya siapa. Maafkan Akuh 🥺


Penutup


Susahnya mengelola emosi dalam menghadapi anak remaja laki-lakiku memang nyata adanya. Tapi aku percaya, di balik semua tantangan, ada kesempatan untuk tumbuh bersama. Dia belajar menjadi dewasa, aku belajar menjadi orang tua yang lebih bijak.


Kadang aku masih marah, kadang aku masih menangis diam-diam. Tapi setiap hari aku berusaha, sedikit demi sedikit, untuk jadi lebih sabar. Karena bagaimanapun, dia tetap anakku, bagian dari hatiku. Dan aku ingin, meski jalan ini berliku, hubungan kami tetap terjaga dengan penuh cinta.


---



Tidak ada komentar:

Posting Komentar